Praktik “Pencurian” produk Ekspresi Budaya Harus Dibendung.
Tindakan
Menurut Al azhar, semangat kapitalisme yang melilit pemikiran orang-orang kaya baru di Malaysia ikut memicu “perburuan” naskah dan atau manuskrip serta perekaman tradisi lisan Melayu oleh orang-orang Malaysia. Apalagi, sejak beberapa dekade terakhir
Riau daratan dan Riau Kepulauan adalah wialyah subur tempat “pemburuan” mereka. Dengan berbagai dalih mereka bisa masuk hingga ke pedalaman, lalu diam-diam merekam tradisi-tradisi tutur anak bangsa. Biasanya, kata Ketua Yayasan Bandar Seni Ali Haji, mereka pun menilisik naskah-naskah yang ada di masyarakat dan menawar tinggi untuk membelinya. Kenyataan ini juga terjadi di Sumatera Barat. “Bagaimana masyarakat penyimpanan naskah tak tergiur, mereka dengan ringan bahkan mau membayar 50 hingga 60 juta. Fenomena yang sama juga muncul di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. La Niampe, peneliti dan penggiat ATL di Buton, Sulawesi Tenggara, mengaku pernah “menangkap basah” seorang professor dari Malaysia beserta tujuh rekannya yang melakukan pemotretan secara diam-diam atas naskah-naskah Buton. “Profesor itu akhirnya kami usir, tetapi beberapa pulau naskah sudah sempat diambil,” kata La Niampe. Menghadapi kenyataan ini, Sulawesi Selatan membentuk Dewan Ketahanan Budaya. Perannya antara lain untuk membendung praktik “pencurian budaya” yang juga terjadi pada naskah-naskah di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar